29 Juli 2011

CANDI-CANDI DI NUSANTARA


Berbagai candi-candi di tinggalkan oleh nenek moyang Hindu di Nusantara ini, ada yang berada dalam keadaan hancur lebur, ada yang terlantar dan ada yang hampir habis terjarah, namun ada juga yang telah dipugar dan telah dijaga dengan cukup baik. Namun begitu semua umat Hindhu-Buddha di luar Bali, tidak dapat melakukan Puja Sembahyang dengan baik di candi-candi ini. Sering sekali kita dihadang dan dilarang dengan atau oleh berbagai peraturan kepurbakalaan atau oleh oknum-oknum pejabat seperti di kawasan kompleks Trowulan, bahkan di sini ada oknum-oknum dari agama lain yang selalu menteror umat Hindhu.
Di balik itu kemungkinan penjarahan berjalan terus, dan berbagai larangan mungkin dibuat karena bisa mengganggu penjarahan di lahan yang amat luas ini. Para pejabat setempat pura-pura menutup matanya. Namun di Borobudur, Prambanan dan juga Mendut, sedikit demi sedikit upacara-upacara pemujaan dapat dilaksanakan, misalnya upacara Waisak setiap bulan Mei di Borobudur dan Mendut serta Kalasan, dan sekarang upacara Nyepi dapat di laksanakan di kompleks Prambanan.
Korupsi jelas terihat dalam penjualan tiket masuk di kompleks-kompleks ini, namun umat Hindhu-Buddha ternyata mandul dan tidak bisa berbuat apa-apa karena seluruh candi-candi kecuali yang ada di Bali, dikuasai oleh pemerintah dengan dalih pelestarian peninggalan nenek moyang, tanpa mautahu aspirasi umat Hindhu-Buddha di Indonesia dan dari pelosok dunia yang seharusnya dapat beribadah di tempat-tempat suci ini, sama seperti di India, China, Kamboja dan berbagai negara lainnya. Di negara-negara ini selain pelestarian oleh pemerintah, upaya masyarakat untuk melestarikan, mencari dana dan sembahyang puja sangat di hargai oleh pemerintah setempat.
Dengan hancurnya Perekonomian negara pada saat ini, maka negara sudah hampir tidak sanggup lagi menjaga dan melestarikan berbagai warisan, sudah waktunya umat Hindhu dan Buddha bersama-sama menggalang dana dan suara, dan secara ahimsa berjuang melalui dirjen Hindhu-Buddha untuk mendapatkan kembali hak mengelola, melestarikan dan bersembahyang di berbagai candi-candi ini, daripada membangun berbagai pura dan mandir baru, yang merupakan karya-karya sakral peninggalan nenek moyang yang tidak ada tandingannya ini. Kalau kita bersatu dan beritikad baik, mungkin tahun-tahun ini pemerintah dapat “dibujuk” untuk mengerti dan memahami kaumnya yang minoritas namun adalah pewaris agama leluhur, kalau tidak, lihat apa yang telah terjadi di situs sakral Prasasti Batu Tulis, yang sempat menghebohkan karena digali oleh menteri agama yang tidak berwenang sama sekali, apapun itikadnya bukan milik umatnya, melainkan adalah warisan Hindhu yang seharusnya dilestarikan dipuja umat Hindhu-Buddha bersama-sama.
Semoga tulisan kecil dibawah ini merangsang umat Hindhu-Buddha, khususnya yang masih muda mempelajari mengenai agama kita yaitu Sanatana Dharma (kesatuan Hindhu-Buddha dsb.). Apalagi candi-candi ini ternyata menyimpan bukan saja ajaran dan arca-arca yang fantastis tidak kalah mutunya dari India, namun juga menyimpan falsafah-falsafah yang “sirna” karena tidak dipuja lagi. Marilah kita sama-sama berjuang untuk mendapatkan kembali hak-hak kita untuk berpuja di candi-candi kita sambil melestarikan dan mendanai kembali pemugarannya

Sejarah Singkat Candi-Candi Peninggalan Hindhu-Budha Di Nusantara


Diperkirakan agama Hindhu dan Budha berkembang di Indonesia semenjak abad IV-XV, namun menurut catatan yang hadir di India, khususnya di babad Ramayana Hindhu Dharma telah hadir di Nusantara semenjak zamannya Sang Rama, pada saat itu Sumatra dikenal dengan sebutan Swarna Dwipa, Madura disebut Mathura Dwipa dan Jawa disebut Jambu Dwipa (identik dengan sebutan India pada waktu tersebut). Ramayana jelas-jelas mengarah ke Jawa Barat, Bali dsb. Lokasi-lokasi yang dimaksud masih eksis sampai saat ini, namun bangunan-bangunan sucinya telah hilang ditelan sang waktu, atau hancur lebur oleh musuh kaum Hindhu. Namun seterusnya berbagai bukti adanya kerajaan-kerajaan Hindhu-Budha yang pernah eksis di bumi pertiwi ini ditandai dengan peninggalan-peninggalan yang berupa candi-candi, berbagai Prasasti, arca-arca batu, arca perunggu, kuningan, perak, emas, alat-alat Upacara dsb. Bangunan candi-candi ini pada umumnya tersusun dari batu andesit, batu putih atau batu bata sesuai dengan zaman-zaman dan kemajuan pada saat itu. Biasanya candi-candi Hindhu, bagian dalamnya (ruang dalamnya) tidak terlalu lebar, namun biasanya terdapat arca-arca dewa-dewi, lingga-yoni, dsb.

Istilah atau kata candi berasal dari bahasa sansekerta candika graha. Candika adalah sebuah sebutan yang mulia bagi Dewi Durga dalam wujudnya sebagai bunda semesta yang mengatasi atau menguasai para asuras, bukan sebagai dewi maut atau ratu dedemit, dsb. Sebagai penegak dharma, beliau mengalahkan berbagai unsur-unsur asuras (baca buku Dewa-dewi dan berbagai maknanya yang juga terbitan Shanti Griya). Ternyata pemujaan terhadap Dewi Durga sebagai perwujutan Bunda Pemelihara, Pengayom dan Pelindung umat manusia telah berkembang dengan sangat pesat, pada zaman-zaman tersebut.Tantraisme telah maju sejajar dengan yang ada di India.

Kemudian setelah seribu tahun masuklah pengaruh agama Buddha yang perkembangannya sejajar dengan yang hadir di India pada saat itu. Perbedaan candi Hindhu dan Buddha adalah sebutan dan isinya, bangunan fisiknya sering sekali mirip baik dari segi arsitektur, bahan bangunan dan karya seninya. Bangunan-bangunan suci Hindhu ini disebut candi karena isinya pasti berhubungan dengan Shiwaisme (Tantrik), dengan aliran Waisnawa (pemujaan kepada Wishnu), Durga dan Lingga-Yoni (perwujutan Shiwa), candi-candi Wishnu kaya dengan ornamen-ornamen bercorak Waisnawa. Di sisi lain candi-candi Buddhis yang muncul belakangan bercorak Buddhis dan penuh dengan arca-arca Budha disamping Dewi Tara, dsb.

Candi Prambanan merupakan karya masterpiece yang bercorak Tantra (Siwaisme) yang dikombinasikan dengan aliran Brahma dan Wisnu. Di candi ini hadir seluruh unsur-unsur Tri murti (Brahma-Wisnu-Shiwa), juga Durga, Ganeshya, Nandi, Surya, Chandra dan relief-relief Ramayana yang sangat beraliran Waisnawa di candi utamanya. Tidak jauh dari candi ini terdapat kompleks Candi Sewu yang beraliran Buddha.

Berdasarkan berbagai temuan arkeologis di Indonesia, dewa utama yang di puja adalah Shiwa Mahadewa, sering berwujud Shiwa Mahaguru (Agastya). Namun Jawa Timur penuh dengan candi-candi Wisnu (Erlangga, dsb.). Lingga-Yoni sendiri dianggap sebagai perpaduan Purusha dan elemen positif, dan Prakriti (elemen negatif), juga berarti secara duniawi kemaluan laki-laki (linggam) dan kemaluan wanita (yoni).

Di sisi lain lingam juga berarti Sang Pencipta dan yoni menyiratkan semesta dan isinya (maya). Di luar semua itu, lingam juga menyiratkan penyatuan Brahma, Wishnu dan Shiwa. Linggam terdiri dari tiga bagian, biasanya yang paling dasar berbentuk segi empat lambang dari Hyang Brahma, kemudian bagian sentral (tengah) berbentuk segi delapan, lambang Hyang Wishnu, bagian atas berbentuk bulat lonjong, lambang dari Shiwa.

Berbagai candi-candi ini dibangun berdasarkan kosala-kosali yang terdapat didalam kitab Wastupurushamandala, yang berarti kira-kira: sesuatu lokasi pencipta alam semesta. Kompleks Candi Prambanan yang paling pas dengan aturan-aturan ini, misalnya candi induk yang dikelilingi oleh berbagai candi-candi perwara. Lokasi candi mengarah ke Timur seperti halnya di India, terletak didekat sebuah sungai yang dianggap suci. Khususnya di Jawa perpaduan candi-candi Hindhu dan biara-biara Buddhis terkesan sangat harmonis, khususnya pada masa Kerajaan Mataram Hindhu. Namun kerajaan-kerajaan yang menggantikan Kerajaan Mataram Hindhu, Khususnya di Jawa Timur terkesan membangun candi-candi mereka tidak seperti lazimnya yang di Jawa Tengah. Contohnya: candi-candi di Jawa Tengah bagian Selatan berdenah konsentris dengan halaman paling dalam sebagai wilayah yang tersuci, namun di Jawa Timur, denah candi berubah disusun ke belakang kembali, yaitu halaman paling belakang merupakan wilayah yang tersuci. Arah hadap candi juga tidak lagi berdasarkan arah Timur-Barat, namun berubah membelakangi gunung, dan ada yang memiliki 3 tingkatan (Bhur, Bwah dan Swah). Di dalam beberapa hal masyarakat sudah meyatukan pemujaan Shiwa Buddha. Para ahli sejarah Indonesia ada yang berpendapat bahwa pada zaman tersebut telah berlaku konsep Dewaraja, yaitu raja atau ratu yang meninggal dibuatkan tempat pemujaan berupa bangunan candi dengan perwujudan raja-ratu sebagai Dewi Durga (di Gianyar), lihat Candi Durga Kutri di Buruan, Gianyar, sebagai perwujudan Mahendradatta (Gunapriyadharmapatni). Kemudian Erlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wishnu diatas Garuda di Candi Belahan, Mojokerto namun Garuda Wishnu juga didapat di daerah Palembang (lihat koleksi Museum Nasional di Jakarta). Kemudian hadir juga Ken Dedes (Permaisuri Ken Arok, pendiri kerajaan Singosari) yang diwujudkan sebagai Dewi Prajnaparamitha, juga hadir area Raja Kertanegara dalam wujud Aksobhya, dsb.

Pada zaman kejayaan Islam, berbagai candi-candi ini mulai sirna dari persada ini. Sebagian dirusak dan dihancurkan, sebagian dikuburkan sebelum diserang tentara Islam, dan sebagian kecil mungkin saja dihutankan, ada juga yang terlanda lahar (namun yang satu ini sulit untuk dibuktikan).

Terkesan lebih banyak candi-candi di Nusantara ini dihancurkan oleh tentara Islam. Di India sendiri Islam menghancurkan sekitar 60.000 candi, sebagian dirubah menjadi Masjid, hal yang sama pasti terjadi di Indonesia, namun dikaburkan oleh penulis-penulis sejarah karena alasan-alasan tertentu.